Kamis, 10 November 2016

Review Film : Doctor Strange (2016)




Sutradara          : Scott Derrickson                                 
Skenario            : Jon Spaihts, Scott Derrickson, Steve Ditko
Pemain               : Benedicth Cumberbatch, Rachel McAdams, Tilda Swinton
Genre                 : Action, Adventure, Fantasy
Durasi                : 1 Jam 55 menit


Tampaknya hampir sebagian besar orang termasuk aku belum mengenal siapa ini Doctor Strange.  Tiba-tiba saja namanya muncul dalam salah satu karakter produksi Marvel. Padahal sebelumnya aku tidak tau apa dan bagaimana kekuatan sosok Strange ini. Dilihat dari cover dan trailer aku mengira Doctor Strange ini kisah tentang seorang dokter aneh yang bisa mengeluarkan cahaya dari tangannya, haha. 

Doctor Strange merupakan salah satu tokoh komik marvel ciptaan Steve Ditko dan  Stan Lee. Karakter ini sudah lama mereka ciptakan, bahkan pernah dibuatkan serial televisinya juga di tahun 1980.  Dapat dikatakan ini adalah salah satu karakter yang beruntung dapat difilmkan oleh Marvel Cinematic Universe. 

Meskipun masih terkait dengan tokoh dan karakter Marvel lainnya di Avenger, tapi Doctor Strange memiliki ranah yang berbeda dibandingkan para superhero Marvel yang pernah di filmkan. Strange memiliki kekuatan yang kata orang Indonesia sih ilmu kanuragan alias tenaga dalam. Jadi wilayahnya Strange itu ya urusan menembus dimensi alam lain, sihir, dan hal-hal yang berbau metafisis. 

Sangat beda bukan dengan wilayahnya mereka Thor, Iron Man, Spiderman, Captain Amerika dan kawan-kawan. Ada salah satu dialog dalam film ini menyatakan bahwa Avengers bertugas untuk melindungi bumi dan manusia dari ancaman nyata yang sifatnya fisik. Nah sedangkan Doctor Strange dan kawan-kawan ini tugasnya sama yaitu melindungi bumi dan manusia dari ancaman dimensi lain.

Doctor Strange (Benedicth Cumberbatch) adalah seorang dokter bedah yang sangat tersohor . Kehidupan dan pembawaan dirinya hampir mirip dengan karakter Tony Stark alias Iron Man. Mereka sama kaya raya, flamboyan, perfeksioni, arogan, sok pintar dan agak sedikit konyol. Reputasinya sebagai dokter bedah tidak terbantahkan.

Suatu ketika sebuah kecelakaan mobil merenggut tangannya. Dia dinyatakan mengalami kerusakan saraf yang mengakibatkan jari-jari tangannya tidak bisa digerakan. Berobat sana sini sampai ia bangkrut kehabisan harta tapi tak jua kunjung sembuh. Padahal sebagai dokter bedah, tangan adalah modal yang paling utama. 

Dalam keputusasaan itu akhirnya Strange menemukan sebuah harapan. Ia mendapat informasi dari seseorang yang dulunya pernah di vonis kerusakan saraf seluruh tubuh. Bahwa jauh di timur sana, tepatnya di Khatmandu, Nepal ada perguruan yang mampu mengobati kerusakan saraf. Perguruan itu dinamakan Kamar-Taj. Maka dengan berbekal harta yang masih tersisa ia pun nekat pergi ke Khatmandu.

Setelah melakukan pencarian akhirnya ketemu juga tuh perguruan. Sampai disini aku masih mengerutkan kening dan bertanya-tanya. “Serius nih Marvel, tumben mainannya ilmu-ilmu kanuragan dan bela diri dari asia.” Biasa Marvel kan urusannya yang ilmiah dan hal-hal yang berbau teknologi. 

Disini Strange bertemu dengan guru atau the ancient one (Tilda Swinton). Bukannya mendapat pengobatan, Strange justru ditunjukan kemampuan supranatural dari the ancient one ini. Tentu saja sebagai orang yang berpikir ilmiah, mulanya ia tidak menerima hal tersebut. Lama kelamaan  akhirnya ia sadar juga dan mau menerima kehebatan supranatural the ancient one. Malahan si Doctor Strange ini minta diajarkan.

Rupanya kemampuan Strange dalam belajar dan menyerap ilmu sungguh luar biasa. Dalam waktu singkat dia sudah dapat menghapal mantra-mantra, jurus-jurus. Tidak cuma itu banyak buku-buku yang dilahapnya dengan singkat. Atas kemampuannya ini rekannya saja sampai geleng-geleng kepala. 

Niat awalnya cuma mau menyembuhkan tangan, eh malah jadi ahli sihir. Sudah begitu ikut dalam pusaran pertarungan di dimensi lain pula. Untuk melindungi dimensi astral dari kejahatan Kaecillius (Mads Mikkelsen) yang ingin membangkitkan Dormammu, Strange yang merupakan murid terhebat dari the ancient one mau tidak mau harus melawan dan mengalahkan Kaecillius. Padahal ia tidak mau, tapi karena dia sudah menjadi bagian dari perguruan itu. Ya apa boleh buat. Tempur..

Terlepas dari karakternya, jalan cerita ini lumayan bagus. Alur cerita digambarkan secara sistematis  mulai dari kehidupan “zero” nya sampai kehidupan “hero” nya. Tak begitu membosankan. Film bergulir tak terasa hingga akhir. Sama seperti alur cerita tokoh superhero yang pernah ada. Hanya saja yang membedakan yaitu villain dan tema cerita.

Di film ini kita akan banyak disuguhi adegan-adegan kota terbalik, terlipat, dan berputar. Sama seperti di film Inception. Selain itu juga banyak disuguhi dengan sinema objek berputar-putar seperti yang cukup “memanjakan” mata, haha. Tapi disitulah kreatifitas sutradara agar dapat menampilkan ciri khas pertarungan dari Doctor Strange ini.

Keseriusan film ini  disegarkan dengan selipan tingkah konyol Doctor Strange. Sehingga sukses membuat penonton di seisi bioskop tertawa. Karakter yang konyol dan lucu ini seperti layaknya Tony Stark sangat diperlukan dan memang harus ada. Sudah jadi ciri khas Marvel tampaknya menyelipkan humor di setiap film garapannya.

Namun sayang menurutku adegan pertarungannya kurang begitu epic layaknya Iron Man, Thor dan tokoh lainnya.  Tapi meski demikian, scoring dan suara musik yang mengiringi film ini lumayan epic. Setidaknya hal itu dapat menolong.

Meski bukan bagian dari Avengers, paling tidak kedepannya dokter yang bernama lengkap Stephen Strange ini ikut tampil di beberapa film garapan marvel. Dari situs Imdb ada dua film Marvel yang didalamnya ia ikut hadir diantaranya Thor : Ragnarok dan Avengers: Infinity War.

Tak ada aspek prinsip yang perlu dikritisi dalam film ini. Hanya saja aku kurang sreg dengan kekuatan dari Doctor Strange ini. Karena beliau ini dalam mengeluarkan kekuatan terlalu bergantung kepada alat-alat. Padahal seharusnya mengeluarkan ilmu langsung dari tangan tanpa mediasi dari alat-alat kuno. Namanya juga tenaga dalam mesti tanpa perantara. Tapi ku tau karakternya sudah dari sananya, jadi mau diapakan lagi kan. 

Ini adalah sebuah keberanian atau lebih tepatnya terobosan dari pihak Marvel untuk mengangkat karakter superhero lain dari yang lain. Bisa dibilang Doctor Strange ini bukanlah karakter superhero yang populer. Tapi ya biar siapapun karakternya, mau si buta dari gua hantu kah, wiro sableng kah,  kalau yang menggarap dari studio Marvel Cinematic Universe orang pasti akan berduyun-duyun juga datang ke bioskop. Intinya nama besar Marvel sudah jadi jaminan mutu. Dan nyatanya filmnya pun not bad lah. Akhir kata film ini cukup menghibur dan lumayan lah.


---My rate :  7.5/10---

Jumat, 04 November 2016

Review Film : The Doll (2016)





Sutradara         : Rocky Soraya                                               
Skenario          : Rocky Soraya, Riheam Junianti
Pemain             : Shandy Aulia, Denny Sumargo, Sara Wijayanto
Genre                : Horor
Durasi              : 1 Jam 46 menit
Tahun rilis       : 2016

Dilihat dari cover dan judulnya ini film cukup meyakinkan dengan gambar boneka dengan pencahayaan yang gelap. Covernya terlihat seperti film yang  berselera tinggi, ditambah dengan judulnya yang tampak seperti film garapan hollywood. Mungkin filmnya mencekam, dan mengerikan. Setidaknya covernya cukup menjadi pemancing persepsi awal orang untuk menonton film garapan Hits Maker ini.

Awalnya aku agak sedikit skeptis dengan film ini. Tapi untuk mencoba mencintia produk dalam negeri ditambah persepsi akan cover yang ala hollywood itu, kucoba menonton film ini. Apalagi film ini dibintangi oleh Shandy Aulia yang sebelumnya juga pernah bermain di film horor Rumah Kentang. Film rumah kenang cukup lumayan, tapi tidak dengan film ini.

Film The Doll sendiri bercerita tentang  pasangan muda Daniel dan Anya yang baru pindah ke Bandung. Daniel (Denny Sumargo) bekerja di sebuah perusahaan dan menjadi pengawas proyek. Dengan mengesampingkan mitos dan hal-hal yang diluar logika, ia berani menebang pohon yang menurut orang sekitar keramat di sekitar proyek. 

Ketika ia pulang, tiba-tiba boneka yang tadinya tergantung di pohon yang ia tebang ada dalam mobilnya. Tadinya mau dibuang tuh boneka, tapi karena Anya (Shandy Aulia) istrinya adalah seorang pecinta  dan sekaligus pembuat boneka. Boneka dengan wajah angker itu pun disimpan istrinya. Rupanya disinilah awal petaka dan teror terjadi. Sejak kehadiran boneka yang belakangan diketahui bernama gawiah itu hadir dirumah mereka, teror pun mulai berdatangan menghampiri keluarga kecil ini.

   Dalam film beberapa kali ditampilkan penampakan jalan Siliwangi di Bandung. Di dunia nyata jalan ini memang dikatakan menyimpan cerita dan mitos tentang boneka yang berkembang di masyarakat sekitar. Sehingga dasar film ini pun diambil dari mitos di jalan Siliwangi tersebut.

Patut di apresiasi dari film yang digarap oleh Rocky Soraya ini adalah kembalinya film Indonesia yang “murni” horor. Tidak ada embel-embel paha, dada, dan umbar pergaulan bebas yang kemudian mengaburkan esensi film itu sendiri. Tapi meski demikian film ini menurutku masih terdapat banyak kekurangan di beberapa titik.

Hal yang patut disayangkan adalah adegan pembukanya sangat mirip sekali dengan adegan pembuka film The Conjuring. Dari situ aku mikir, “wah, jangan-jangan ini film sampai akhir mirip lagi dengan film hits hollywood itu.” Tapi rupanya itu hanya adegan pembuka saja. Aman.

Rupanya rasa skeptisku akan film ini terbukti, dimulai dari dialog cinta-cintaan Anya dan Daniel yang entah kenapa membuatku geli. Selain itu dialog-dialog dalam film ini kok terasa kaku ya sehingga akting para tokohnya pun ikutan pada kaku. Tak sampai disitu ada beberapa adegan di film ini yang menurutku juga absurd. Sehingga membuatku mengerutkan kening dan kadang membuatku tertawa juga. Terutama dalam urusan mendobrak pintu. 

Jalan ceritanya kurang kuat. Latar belakang Anya yang seorang pembuat boneka tidak begitu ditampilkan. Di salah satu adegan ada bagian yang menampilkan mereka hidup susah dan pas-pasan, tapi dari segi make up, busana dan latar belakang rumah tidak menunjukkan hal itu. Ia sih adegannya lagi naik metro mini, tapi pakaiannya tampak kaya artis lagi blusukan.

Endingnya juga tidak begitu wah, maksud hati ingin membuat twist ending. Tapi aku malah berasa aneh aja gitu ya endingnya. Ada sebab akibat yang janggal yang terjadi di endingnya ini. Cara pengusirannya rohnya pun terlihat biasa saja, tidak sehebat yang dikatakan oleh Bu Laras (Sara Wijayanto) sang paranormal dimana sampai membuat suaminya meninggal. Endingnya banyak mengumbar darah dan luka yang cukup terang. Film yang tadinya tema horor biasa, malah jadi gore horor.  Secara keseluruhan film ini aku rasa masih kurang matang, dan terkesan apa adanya.

Sebenarnya masih banyak lagi hal yang janggal habis menonton film ini. Tapi berhubung tidak tega nulisnya, hehe. Meskipun banyak kekurangan di sana sini. Tapi film ini setidaknya memiliki beberapa nilai plus. Pertama adalah scoring dan sound effect yang cukup lumayan. Cukup meyakinkan dan dapat membangun suasana horor yang mantap di sepanjang film ini. Setting dan pencahayaan pun dibuat remang-remang dan sekali lagi kukatakan cukup meyakinkan. Dan tentu saja tidak ada lagi unsur erotisme dalam film ini. Setidaknya sudah ada sedikit perubahan untuk film horor Indonesia.

---My rate :  5/10---

Rabu, 02 November 2016

Review Film : Seven (1995)




Sutradara          : David Fincher                                    
Skenario            : Andrew Kevin Walker

Pemain               : Morgan Freeman, Brad Pitt, Gwyneth Paltrow

Genre                 : Crime, Mistery

Durasi                : 2 Jam 7 Menit

Tahun rilis         : 1995

Seven adalah film jadul tahun 90an yang baru ku tonton di jaman dimana teknologi sudah canggih seperti sekarang ini. Tapi meskipun tergolong film lama, film ini dari segi jalan cerita tidak kalah dengan film masa kini. Justru bisa dibilang film ini masih top hingga kini.

David Fincher adalah aktor dibalik layar yang sudah mengarahkan film ini. Jujur film David Fincher yang sudah pernah aku tonton sebelumnya hanyalah Fight Club. Film yang berhasil mengecohku sedari awal, dan akhirnya menimbulkan kesan  yang mendalam setelah menonton film Fight Club. 

Berharap mendapat kesan yang mendalam di ingatan. Hal itu pula yang tumbuh di benakku ketika ingin menonton karya David Fincher lainnya seperti film Seven ini. Benar saja, film ini bisa dibilang sedikit beda dengan film-film yang pernah ada. Apalagi latar belakang cerita berhubungan dengan detektif. Tema cerita yang sangat memancing minatku.

Film Seven ini mengisahkan tentang kisah dua orang detektif Somerset (Morgan Freeman), dan Detektif Mills (Brad Pitt) yang sedang menyelidiki kasus pembunuhan berantai. Sang pembunuh ini menggunakan dalil 7 dosa mematikan yang diambil dalam kitab untuk setiap aksi pembunuhannya. 

Somerset adalah seorang detektif Senior yang akan memasuki masa pensiun. Ia terpakasa bekerja sama dengan detektif muda yang baru pindah di kepolisian setempat. Sebelum pensiun, Somerset diberikan kasus terakhir untuk diselidiki yaitu kasus pembunuhan seorang bertubuh gemuk yang tewas saat makan. Pembunuhan tersebut rupanya bukan pembunuhan biasa. Setelah dilakukan beberapa penyelidikan terungkap fakta-fakta dan petunjuk bahwa pembunuhan itu adalah pembunuhan berantai. Berdasarkan insting dan pengetahuan dari Somerset, ia menyimpulkan bahwa sang pembunuh sangat terinspirasi dari 7 dosa mematikan dan akan terjadi setidaknya 6 pembunuhan lagi.

Awalnya pernyataan Someset itu dianggap remeh, dan penyelidikan itu diserahkan kepada Mills. Tapi ketika pembunuhan berikutnya sesuai dengan pola yang dikatakan Somerset, pihak kepolisian pun meminta detektif veteran ini untuk membantu untuk terakhir kalinya.

Digambarkan dalam film ini Mills adalah detektif yang masih hijau dengan segala kesombongan dan sikap temperamental yang melekat pada dirinya. Berbanding terbalik dengan Somerset yang mempunyai pembawaan diri yang tenang dan tidak gegabah. Duet keduanya dalam memecahkan kasus dari awal film sampai film berakhir cukup menarik. Pertentangan ideologi dalam memecahkan kasus keduanya sangat kentara. Kita seperti melihat aksi seorang mentor dan murid. Memang demikian adanya, dari segi pemikiran Somerset lebih berperan dibandingkan Mills, ia pula yang banyak menuntun dan memberikan pentunjuk kepada detektif muda itu.

Kisah pembunuhan berpola dan berantai ini temanya mirip kisah di novel karya Agatha Christie yang berjudul Pembunuhan ABC. Pun hampir sama juga dengan film Angel & Demon yang dibintangi oleh Tom Hanks. Tapi masing-masing judul yang tersebut diatas mempunyai dasar dan pola yang berbeda satu sama lainnya. Begitu pun pemecahannya kasusnya.

Pemecahan kasusnya membuat aku sedikit agak kecewa lantaran sang pelaku yang menyerahkan diri. Endingnya memang membuat shock, tapi aku tidak terlalu terkejut. Hal itu sudah aku ketahui ketika sang pelaku John Doe yang mengatakan bahwa Mills nantinya akan terkejut menyaksikan fakta yang hadir kemudian. Dari pernyataan ini, aku sudah bisa menebak, “ooh pasti ini istrinya”. 

Meski di awal film agak sedikit ngantuk dibuatnya karena alur cerita yang berjalan lambat. Menjelang pertengahan film, inti cerita sudah mulai kelihatan dan membuat penasaran. Menurutku walaupun filmnya tidak se wah Fight Club, tapi film ini cukup okelah untuk menghibur dan membuat penasaran. hehe

 ---My Rating 7/10---