Minggu, 30 Oktober 2016

Review Film : Open Grave (2013)






Sutradara           : Gonzallo Lopez Gallego                                          
Skenario             : Eddie Borey, Chris Borey
Pemain               : Sharlto Copley, Thomas Kretschmann, Josie Ho
Genre                 : Thriller, Misteri
Durasi                : 1 Jam 42 Menit
Tahun rilis         : 2013

Film yang berbau thriller, misteri dan horor merupakan salah satu jenis film favoritku. Salah satunya adalah film ini Open Grave. Film besutan dari sutradara Gonzallo Lopez Gallego ini jika diperhatikan endingnya hampir mirip dengan film Modus Anomali arahan Joko Anwar.  Tapi nanti sajalah berbicara tentang ending.

Adegan pertama film dibuka dengan seorang pria yang diawal film belum diketahui namanya (Sharlto Copley) tersadar dari tidur panjang. Dia terbangun diantara tumpukan mayat di sebuah kuburan besar. Dalam kebingungan itu ada seorang gadis yang menolongnya untuk naik ke atas permukaan keluar dari tumpukan mayat itu.

Atas rasa penasaran, ia pun mengikuti gadis itu. Hingga akhirnya ia menemukan sebuah rumah ditengah hutan. Didalamnya ternyata sudah ada 5 orang yang juga tengah dalam kebingungan yang sama seperti dirinya. Tak tahu siapa identitas dirinya, tak tau mengapa dan apa yang mereka lakukan ditempat itu. Singkatnya mereka mengalami amnesia alias hilang ingatan.

Rasa penasaran akan latar belakang para tokoh di awal cerita mampu menjadi sebuah pemicu untuk membuat penonton bersabar menunggu hingga akhir film. Film macam ini, kalau di awalnya sudah ada adegan yang bikin kita bertanya-tanya, maka biasanya akan ada twist di akhir cerita. Dan tentu saja jawaban itu kalau kita mau bersabar menunggu film berakhir.

Film ini mampu membuat penonton menunggu twist dari sejak cerita dimulai. Seperti misalnya film Modus Anomali, Hangover, yang dimulai dengan menciptakan rasa penasaran penonton.

Jalan ceritanya lumayan menarik dan simpel tentang usaha dokter yang menolong penduduk yang terkena wabah. Tapi entah kenapa film yang berdurasi sekitar 1 jam 42 menit ini bagiku terasa lama.  Ada beberapa cerita yang menurutku terasa kurang penting sehingga membuat durasi film terasa lama.  Sehingga membuatku sedikit ketiduran di beberapa adegan. Padahal ini film thriller lho.

Di film ini, setelah kita disuguhi awal yang menarik perhatian, perlahan tensi film turun hingga pertengahan cerita. Barulah pada pertengahan cerita, ketika Lukas (Thomas Kretschmann) menemukan rekaman video dimana Jonah (Sharlto Copley) terlihat melakukan percobaan medis terhadap mereka. Konfilik pun terjadi disini. Film pun menjadi lebih tegang kembali setelah dari bagian ini.

Endingnya memang twits, tapi twistnya agak sedikit kurang wah. Sebab di pertengahan film dan beberapa adegan sampai akhir, sang sutradara sudah menyuguhkan potongan-potongan clue melalui ingatan sang tokoh yang membentuk konklusi. Sehingga ada sedikit gambaran lah mengenai endingnya.

Namun yang agak sedikit disayangkan ya kurang digalinya latar belakang beberapa  tokoh seperti si gadis bisu, si anak kecil dan neneknya, para tentara, dan beberapa orang yang amnesia ini. Begitupun juga dengan adegan si gadis bisu memberi makan zombie untuk apa itu, lalu kemudian bagaimana latar belakang pertemuan Jonah dengan orang-orang dirumah ini.

Tapi meski demikian film ini bisa dibilang lumayan lah. Cukup oke dengan menawarkan rasa penasaran di awal film dengan ending yang semi twist. Hehe.

---My Rate :   6.5/10---

Selasa, 18 Oktober 2016

Resensi Buku : My Life as Film Director





Judul Buku     : My Life as Film Director                                 
Penulis            : Haqi Ahcmad
Penerbit          : PlotPoint Publishing (PT. Bentang Pustaka)
Tahun             : 2012
 

Dengan berkembangnya teknologi, maka segala hal yang berhubungan dengan dunia digital pun kian hari kian mudah saja. Akses yang begitu mudah di media sosial, memberikan berbagai macam kemudahan tentang apa yang ingin kita geluti. Termasuk menjadi seorang sutradara. 

Menjadi seorang sutradara tampaknya menjadi salah satu peranan yang cukup banyak digeluti oleh anak muda. Setidaknya Hal ini bisa terlihat dari tingginya antusiasme anak muda dalam mengikuti festival film yang banyak diselenggarakan. Selain itu banyaknya film pendek yang di unggah ke media sosial dapat menjadi sebuah tanda bahwa menjadi sutradara sekarang ini cukup bergengsi.

Benarkah menjadi sutradara sekarang semudah itu. Kalau secara independent sih iya mudah sekali. Asal punya kamera aja, sudah bisa buat film, kemudian di edit lalu unggah ke media sosial untuk di promosikan. Namun jika ingin menjadi sutradara di industri perfilman nasional memang tidak semudah itu. Ada suatu proses panjang yang mesti dijalani. 

Melalui buku ini yang ditulis oleh Haqi Achmad yang berjudul My Life as Film Director, proses-proses itu terlihat cukup masuk akal dan dapat ditempuh dengan mudah oleh siapa saja. Dalam buku yang membahas tentang kehidupan sutradara ini kita banyak belajar tentang jalan hidup beberapa sutradara ternama Indonesia dalam merintis karir dari awal. Beberapa sutradara yang dibahas dalam buku ini diantaranya adalah : Hanung Bramantyo, Joko Anwar, Ifa Isfansyah, dan Sammaria. Keempat sutradara itu namanya sudah malang melintang di jagat perfilman nasional. 

Haqi Achmad dalam buku ini tidak bercerita tentang teknis bagaimana penyutradaraan sebuah film. Lagipula kalau itu dilakukan oleh Haqi Achmad, justru buku ini terasa kurang seru. Sebaliknya buku ini lebih menyajikan spirit perjalanan hidup keempat sutradara ini dalam menapaki karir di industri perfilman mulai dari nol. My Life as Director Film banyak memberikan suntikan motivasi kepada para pembaca yang memiliki minat untuk menjadi seorang sutradara. Bahwa segala hal yang kita tekuni dengan sungguh-sungguh bukan tidak mungkin akan berbuah kesuksesan.

Menjadi sutradara tidak mesti harus sekolah film, tidak mesti harus seorang yang menimba ilmu di institut seni. Joko Anwar dan Sammaria membuktikannya. Joko Anwar yang merupakan alumnus ITB, sempat menjadi seorang wartawan dan kritikus film sebelum menjadi seorang sutradara. Lain lagi dengan Sammaria yang merupakan seorang sarjana teknik yang sempat bekerja sebagai arsitek di perusahaan singapura. Tapi meskipun bukan berlatar belakang seni dan film, setidaknya mereka memiliki kegemaran dan passion di bidang film.

Lantas bagaimana keempat sutradara ini memulai debutnya di perfilman nasional? Joko Anwar membuka jalan karirnya sebagai sutradara dimulai dari wartawan dan kritikus film, suatu ketika ia dapat kesempatan mewawancarai penulis skenario terkenal. Dari sinilah Joko Anwar coba menawarkan skrip Janji Joni yang kemudian menjadi jalan baginya menjadi sutradara.

Ifa Isfansyah sebelum menjadi sutradara film layar lebar, namanya sudah tidak asing di jagat film-film pendek. Sebelumnya ia adalah orang yang sering bikin film-film pendek. Hingga suatu ketika film pendeknya yang berjudul Mayar berhasil menarik perhatian publik dan berhasil memenangkan festival film. Kemudian tawaran untuk menyutradarai film panjang pun berdatangan menghampiri Ifa.

Sedangkan Hanung bisa dikatatakan mulus dan mudah saja karirnya. Setelah ia lulus kuliah di IKJ, ia sudah merintis karir membuat film dan menyutradarai beberapa sinetron dan FTV.  Lain dengan Sammaria yang lamarannya untuk bekerja beberapa kali di tolak oleh Production House. Hingga akhirnya ia nekat membuat film sendiri. Siapa sangka film pertamanya pun sukses dan mendapat penghargaan sebagai skenario terbaik. Dari sinilah jalannya mulai terbuka sebagai Sutradara di perfilman tanah air.

Jika dilihat dari perjalanan keempat sutradara itu, bisa ditarik kesimpulan bahwa segala hal yang ingin kita capai, dapat terwujud jika kita bersungguh-sungguh. Jika kita fokus dan benar-benar menyukai hal-hal yang berbau film. Bukan tidak mungkin kita akan bisa seperti keempat sutradara itu. Lihat  saja jalan hidup sutradara-sutradara itu seperti dipenuhi keberuntungan karena kekuatan fokus dalam diri mereka. Sebagian besar jalannya dimudahkan. Ada yang baru bikin film pertama langsung goal, ada yang sudah merintis karir dengan menyutradarai sinetron dan ada pula yang menjadi wartawan terlebih dahulu.

Ditulis dengan bahasa yang menarik, mudah dicerna dan enak dibaca, buku ini sangat recommended dan wajib dibaca bagi siapapun yang ingin jadi sutradara. Meskipun bukan buku yang bercerita tentang teknis penyutradaan, tapi setidaknya buku ini bermuatan nilai yang “provokatif” dan ingin menyampaikan bahwa siapa saja bisa menjadi sutradara. Dengan halaman yang full color, tata letak yang  dan huruf yang bagus, membaca buku ini jadi lebih menyenangkan.

Akhir kata, saya kutipkan pernyataan dari Ifa Isfansyah :
 “Satu-satunya cara agar bisa menjadi sutradara adalah dengan membuat film. Enggak ada cara lain hanya membuat film. Jadi kalo mau jadi sutradara bikinlah film