Kamis, 22 Desember 2016

Bertanggung Jawab Terhadap Gelar




Zaman dulu orang yang bergelar sarjana jumlahnya sedikit. Hanya beberapa orang saja yang mampu kuliah dan menyelesaikan sekolah tinggi. Itulah sebabnya kenapa orang-orang zaman dulu jika sudah lulus sarjana dan meraih gelar pasti sangat membanggakan sekali. Tidak hanya membanggakan keluarga, tetapi juga membanggakan orang-orang sekitar dan orang-orang yang mengenalnya. 

Entah apa alasan dibalik itu semua karena aku tidak hidup di masa itu. Tetapi yang jelas, meraih sarjana kala itu katanya rada-rada sulit. Sulit dari segi biaya dan juga dari segi prosesnya. Makanya jumlah sarjana dulu hanya sedikit. Tetapi meski kuantitasnya sedikit, kualitas sarjana dulu  jangan ditanya. Selepas wisuda, mereka menajadi orang yang siap kerja dan siap pakai. 

Sekarang setelah setengah abad lebih merdeka, tingkat partisipasi perguruan tinggi di Indonesia semakin baik dan meningkat. Itu artinya semakin banyak jumlah mahasiswa yang kuliah dan semakin meningkat pula jumlah sarjana kita yang dicetak oleh Perguruan tinggi. Tentu saja itu adalah pertanda baik bagi pendidikan kita.

Hanya saja akan selalu muncul pertanyaan. Apakah peningkatan kuantitas ini dibarengi juga dengan peningkatan kualitas. Tampaknya sekarang orang-orang sudah cenderung menganggap sarjana adalah hal yang biasa saja. Tidak lagi seheboh dan sebangga dulu jika ada orang yang telah berhasil wisuda. Memang tetap ada kebanggan dihati segenap keluarga jika ada yang wisuda, hanya saja euforianya tidak sedahsyat dulu. Terutama bagi mereka yang berada di perkotaan.

Hal ini menjadi wajar, ketika kita lihat setelah para mahasiswa resmi menjadi Sarjana. Banyak yang luntang lantung karena tidak adanya lapangan pekerjaan. Lihat saja di data statistik berapa banyak jumlah pengangguran terdidik negeri ini. Jumlahnya semakin meningkat dari tahun ke tahun. Akhirnya menjadi sarjana saat ini bukan lagi menjadi sebuah kebanggaan yang teramat spesial. Apalagi jika ijazah dan gelar tak pernah terpakai di dunia kerja.

Entah apa yang salah, hanya saja tentu proses belajar mahasiswa selama di perguruan tinggi juga menjadi salah satu faktor. Patut disyukuri jika tingkat kemampuan masyarakat untuk masuk perguruan tinggi sekarang ini semakin meningkat. Hanya saja apakah peningkatan itu sebanding dengan kualitas sarjana. 

Tingkat motivasi setiap orang tentu saja berbeda-beda. Ada yang menjalani kuliah dengan bersungguh-sungguh,  ada yang biasa saja,  dan ada pula yang ala kadarnya. Orang-orang dengan tingkat motivasi yang berbeda ini maka akan menghasilkan idealisme, mental dan kapasitas yang berbeda pula.

Makanya jangan heran jika ada saja mahasiswa yang lebih cenderung menghargai hasil ketimbang proses. Apapun dilakukan asal nilai bagus, meskipun harus mengeluarkan biaya berlebih. Proses belajar dan menikmati pencarian ilmu tidak begitu dipedulikan. Tak jadi soal tidak memahami bidang ilmu yang digeluti, yang penting lulus.

Sering dulu kutemui waktu kuliah ada yang ketika disuruh mengemukakan pendapat malah diam tak bersuara. Dipaksa seperti apapun tetap diam juga. Kalaupun terpaksa jawabnya pun seadanya. Ada pula mahasiswa akhir yang sampai tidak mengerti sama sekali tentang bidang ilmu yang tengah ia geluti bahkan sampai ia lulus. Menyandang predikat mahasiswa tentu beban mental dan sosialnya berbeda dengan siswa sekolah. Sebutannya juga “Maha”, tentu harus ada tanggung jawab disitu.

. Tak cuma itu, proses penggarapan skripsi misalnya. Sudah jangan ditanya lagi, ini adalah hal yang paling bikin greget selama kita kuliah. Skripsi dicorat-coret, revisi sana sini, cari bahan ini itu, nugguin dosen, pokoknya sudah jadi makanan wajib mahasiswa tingkat akhir. Proses yang banyak menguras tenaga dan pikiran ini sayangnya ingin dilewati dengan jalan pintas oleh beberapa mahasiswa yang tidak mau ambil pusing.

Akhirnya karena tidak mau repot dengan urusan skripsi, uang pun jadi senjata andalan. Entah dengan menyogok dosen, memakai jasa pembuatan skripsi dan apapun itu asalkan ia tidak perlu pusing membuat skripsi. Maunya terima beres, terima bersih, yang dia tau hanya urusan wisuda. Parahnya hal ini  juga didukung oleh orang tua beberapa mahasiswa macam ini. Bahkan terkadang orang tua juga yang menawarkan anaknya untuk menjadikan uang sebagai alat negosiasi.

Apa yang bisa dibanggakan jika menyelesaikan kuliah dengan cara seperti ini. Sama saja artinya tidak menghargai ilmu, dan sama sekali tidak bertanggung jawab terhadap gelar yang didapat. Ada pepatah bilang hasil tidak pernah mengkhianati proses. Jadi jika proses yang dilalui instan dan ala kadarnya tentu hasil yang didapat ya juga karbitan. 

Alhasil akan kita dapatkan seorang profesor, doktor, magister, dan sarjana yang gelarnya hanya sekedar tempelan. Ketika ditanya pendapat tentang hal yang ia pernah geluti, atau ditanya tentang berita yang lagi up to date. Jawabannya tidak tahu.

Seorang yang menyandang gelar akademik tentu tingkat analitis dan pemahamannya relatif sedikit lebih baik daripada mereka yang tidak masuk perguruan tinggi. Meskipun banyak juga orang yang cerdas dan pintar kendati ia hanya lulusan SMA. Tapi seorang yang bergelar setidaknya dituntut mampu mengamati realitas yang ada dan menganalisis sesuai dengan bidang ilmunya serta memecahkan masalah. Karena ia sudah banyak membaca dan menganalisa.
Sejatinya mahasiswa itu adalah orang yang rajin membaca. Jadi adalah hal aneh jika seorang mahasiswa tapi tidak rajin membaca, jangan salah jika akhirnya ketidaktahuan akan merajalela. Membaca adalah makananya mahasiswa. Tentu ketika sudah menjadi sarjana dan masuk ke dunia kerja, membaca akan menjadi sebuah kebiasaan.

Entah siapa yang salah sistemnya kah atau mahasiswanya kah. Tapi menurut pendapat pribadiku, mau sebagus apapun tempat kuliahnya kalau mahasiswanya tidak memiliki motivasi dan semangat belajar yang tinggi ya sama saja. intinya sih mahasiwa itu asal rajin baca saja. Maka dengan itu ia akan menjelma menjadi orang yang idealis dan punya pandangan dan perspektif sendiri. 

Jangan anggap enteng gelar yang kita sandang. Gelar akademik yang ada di depan dan belakang nama kita punya arti yang besar. Gelar akademik menandakan bahwa kita sudah “ahli” di bidang ilmu yang kita pelajari. Tidak kah kita merasa terbebani, ketika dianggap sarjana, master ataupun doktor tapi kita merasa tidak tahu apa-apa. 

Maka setidaknya bagi semua penyandang gelar akademik harus memahami beban itu. Jadi mau tidak mau harus bertanggung jawab terhadap gelar itu. Bagi mahasiswa yang kelak akan wisuda jangan pernah abaikan proses kuliah. Nikmati semua proses di perguruan tinggi. Karena tidak ada sukses yang diraih secara instan. Klise memang, tapi faktanya memang demikian.

Comments
0 Comments

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan Tinggalkan Komentar